Selasa, 29 September 2020

PERBEDAAN, KESETARAAN, DAN HARMONI SOSIAL

“Perbedaan budaya tidak boleh memisahkan kita dari yang lain. Keragaman budaya justru harus membawa sebuah kekuatan kolektif yang dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia”. (Robert Alan)

Perbedaan dan keberagaman bukanlah sumber pemecah belah. Prinsip kesetaraan dan harmoni sosial menumbuhkan toleransi di dalam masyarakat.

Tujuan Pembelajaran

Dengan mempelajari bab ini, anda diharapkan mampu :

  1. Mendeskripsikan pengertian struktur sosial
  2. Mengidentifikasi diferensiasi sosial di masyarakat
  3. Membedakan berbagai pengaruh diferensiasi sosial berdasarkan pengamatan atau kasus yang terdapat di masyarakat
  4. Memahami perbedaan nilai yang terdapat pada kelompok sosial yang beragam

Mengamati Fakta

Perhatikan gambar di bawah ini

Bertanya

Buatlah lima pertanyaan tentang gambar di atas berkaitan dengan perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial.

Berdiskusi

  1. a) Jawablah pertanyaan-pertanyaan yang telah kamu buat
  2. b) Apakah gambar di atas menunjukan harmoni sosial?
  3. c) Bagaimana mengatasi masalah sosial seperti ini?

Di dalam masyarakat, memang ada perbedaan atau ketidaksamaan sosial. Ketidaksamaan sosial terdiri dari ketidaksamaan sosial horizontal dan ketidaksamaan sosial vertikal. Ketidaksamaan sosial horizontal adalah perbedaan antarindividu atau kelompok yang tidak menunjukan adanya tingkatan lebih tinggi atau lebih rendah (disebut juga, differensiasi sosial). Sementara itu, ketidaksamaan sosial vertikal adalah perbedaan antar individu atau kelompok yang menunjukan adanya tingkatan lebih rendah atau lebih tinggi (disebut juga, stratifikasi sosial). Dalam interaksi sosial antarindividu yang berbeda tersebut, prinsip kesetaraan perlu diterapkan. Dengan prinsip ini, harmoni sosial dapat tercipta. Harmoni sosial merupakan kondisi dimana individu hidup sejalan dan serasi dan setiap anggota masyarakat dapat menjalani secara baik sesuai kodrat dan posisi sosialnya.

  1. Struktur Sosial

Pengertian dan Ciri Struktur Sosial

Wiliam Kornblum menekankan konsep struktur sosial pada pola perilaku individu dan kelompok, yaitu pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat. Soerjono Soekanto melihat struktur sosial sebagai sebuah hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan sosial. Abdul Syani melihat struktur sosial sebagai sebuah tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Didalam tatanan sosial tersebut terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan (dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial tertentu). Status dan peranan tersebut menunjuk pada suatu keteraturan perilaku yang dapat membentuk suatu masyarakat. Dengan demikian, secara sederhana dapat kita katakan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antar unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial dan lapisan-lapisan sosial.

Dalam struktur sosial dikenal dua konsep penting yaitu status dan peran (role). Ralf Linton mendefinisikan status sebagai suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran merupakan aspek dinamis dari status seseorang.

Fungsi dan Bentuk Struktur Sosial

Mayor Polak menyatakan bahwa struktur sosial dapat berfungsi sebagai pengawas sosial, yakni sebagai penekan kemungkinan pelanggaran terhadap norma, nilai dan pelaturan kelompok atau masyarakat. Struktur sosial juga dapat berfungsi sebagai dasar untuk menanamkan disiplin sosial kelompok atau masyarakat.

Menurut Nasikun, dalam konteks Indonesia, struktur sosial dapat dilihat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, struktur sosial ditandai dengan adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama dan adat. Secara vertikal, struktur sosial ditandai dengan adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan lapisan sosial. Dalam banyak literature, struktur sosial horizontal disebut diferensiasi sosial, sedangkan struktur sosial secara vertikal disebut stratifikasi sosial.

  1. Diferensiasi Sosial

Pengertian Diferensiasi Sosial

Salah satu bentuk struktur sosial adalah diferensiasi sosial. Menurut kamus sosiologi diferensiasi sosial adalah klasifikasi atau penggolongan terhadap perbedaan-perbedaan tertentu yang bisaanya sama atau sejenis. Pengertian sama disini menunjuk pada klasifikasi masyarakat secara horizontal, mendatar atau sejajar.

Dalam masyarakat majemuk (plural society), pengelompokan horizontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis (suku bangsa), klan dan agama disebut dengan istilah kemajemukan sosial. Pengelompokan berdasarkan perbedaan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial.

Kemajemukan sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan :

  1. Berdasarkan ciri fisik

Misalnya, warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, bentuk hidung, dan bentuk rahang. Ciri-ciri fisik tersebut disebut ciri-ciri fenotip kuantitatif.

  1. Berdasarkan ciri sosial

Timbul karena adanya perbedaan pekerjaan yang menimbulkan perbedaan cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat. Termasuk dalam kategori ini adalah perbedaan peran, prestise dan kekuasaan. Contohnya pola perilaku guru akan berbeda dengan pola perilaku tentara.

  1. Berdasarkan ciri budaya

Berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi, system kekeluargaan, keuletan, dan ketangguhan. Hasilnya dapat dilihat dari pakaian, adat istiadat, Bahasa, kesenian, arsitektur dan agama.

Bentuk-bentuk Diferensiasi Sosial

Beberapa bentuk diferensiasi sosial diantaranya adalah diferensiasi ras, diferensiasi suku bangsa, diferensiasi klan, diferensiasi agama, diferensiasi profesi, dan diferensiasi jenis kelamin.

Diferensiasi Ras

Ras adalah kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik bawaan yang sama. Menurut Ralf Linton secara garis besar, manusia dibagi dalam tiga kelompok ras utama :

  1. Ras Mongoloid memiliki ciri-ciri fisik kulit warna kuning sampai sawo matang, rambut lurus, bulu badan sedikit, dan mata sipit (terutama Asia Mongoloid). Ras Mongoloid dibagi menjadi dua yaitu, Mongoloid Asia dan Indian. Mongoloid Asia terdiri dari subras Tionghoa (Taiwan, Jepang, Vietnam) dan subras melayu (Malaysia, Indonesia, dan Filipina). Mongoloid Indian terdiri dari orang-orang Indian di Amerika.
  1. Ras Negroid memiliki ciri-ciri fisik rambut keriting, kulit hitam, bibir tebal, dan kelopak mata lurus. Dibagi menjadi lima subras, yaitu Negrito, Nilitz, Negro Rimba, Negro Oseanis, dan Hontentot-Boysesman.
  1. Ras kaukasoid memiliki ciri-ciri fisik hidung mancung, kulit putih, rambut pirang kemerah-merahan sampai coklat kehitam-hitaman, dan kelopak mata lurus. Dibagi menjadi lima subras, yaitu Nordic, Alpin, Mediteran, Armenoid, dan India.

Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelago) didiami oleh bermacam-macam subras, yaitu :

  1. Negrito, yaitu suku bangsa Semang di Semenanjung Malaya
  2. Vedroid, yaitu suku Sakai di Riau, Kubu di Sumatera Selatan, Toala dan Tonum di Sulawesi
  3. Neo Melanosoid, yaitu penduduk di Kepulauan Kei dan Aru
  4. Melayu terdiri atas :
  5. Melayu tua (Proto Melayu) yaitu suku Batak, Toraja dan Dayak
  6. Melayu muda (Deutro Melayu) yaitu Aceh, Minang, Bugis, Makassar, Jawa, dan Sunda.

Ciri-ciri fisik setiap ras berbeda karena beberapa faktor berikut.

  1. Kondisi geografis dan iklim
  2. Faktor makanan
  3. Faktor perkawinan (amalgamasi)

Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis)

Suku bangsa merupakan hasil dari system kekerabatan yang lebih luas. Masyarakat dalam system kekerabatan ini tetap percaya bahwa mereka memiliki ikatan darah dan berasal dari nenek moyang yang sama. Jumlah suku bangsa di Indonesia saat ini sulit diperkirakan. Menurut C. Van Vollen Houven jumlah suku bangsa di Indonesia adalah 316, sedangkan menurut Prof. Dr. Konetjaraningrat ada sekitar 119. Keanekaragaman suku bangsa di Indonesia juga menyangkut keanekaragaman budaya, yang meliputi perbedaan adat istiadat, religi, bahasa dan kesenian.

Diferensiasi Klan

Klan sering juga disebut kerabat, keluarga besar, atau keluarga luas (extended family). Dalam masyarakat Indonesia terdapat dua bentuk klan utama, yakni klan atas dasar garis keturunan ibu (matrilinier) dan atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal).

Diferensiasi Agama

Diferensiasi Jenis Kelamin

Diferensiasi Profesi

  1. Stratifikasi Sosial

Max Weber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu system sosial tertentu kedalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan prestise. Pitirim A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki).

Perwujudan pelapisan didalam masyarakat dikenal dengan istilah kelas sosial. Kelas sosial terdiri atas kelas sosial tinggi (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial rendah (lower class). Kelas sosial tinggi bisaanya diisi oleh para pejabat atau penguasa dan pengusaha kaya. Kelas sosial menengah bisaanya meliputi kaum intelektual, seperti dosen, peneliti, mahasiswa, pengusaha kecil dan menengah, serta pegawai negeri. Kelas sosial rendah bisaanya merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat, seperti buruh, petani gurem dan pedagang kecil. Pengelompokan semacam itu terdapat dalam segala bidang kehidupan.

Faktor Penyebab Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial muncul dengan sendirinya sebagai akibat dari proses yang terjadi dalam masyarakat. Faktor-faktor penyebabnya adalah kemampuan atau kepandaian, umur, fisik, jenis kelamin, sifat keaslian keanggotaan masyarakat, dan harta benda. Dalam perkembangan selanjutnya, stratifikasi sosial sengaja dibentuk sebagai subsistem sosial untuk mewujudkan tujuan tertentu.

Beberapa kondisi umum yang mendorong terciptanya stratifikasi sosial dalam masyarakat, menurut Wila Huky adalah sebagai berikut :

  1. Perbedaan ras dan budaya.
  2. Pembagian tugas yang terspesialisasi.
  3. Kelangkaan.

Dasar Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat

Dasar stratifikasi sosial dalam masyarakat disebabkan adanya sesuatu yang dihargai lebih.

  1. Kekayaan
  2. Kekuasaan
  3. Keturunan
  4. Pendidikan
  5. Status atau kedudukan
  6. Peran (role)

Sifat Stratifikasi Sosial

Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya stratifikasi sosial dibedakan menjadi:

  1. Stratifikasi sosial tertutup

Adalah bentuk stratifikasi yang anggota dari setiap stratanya sulit melakukan mobilitas vertical. Karenanya, stratifikasi sosial jenis ini bersifat diskriminatif, contohnya system kasta, masyarakat rasialis, dan masyarakat feudal.

  1. Stratifikasi Sosial Terbuka

Bersifat demokratis. Kemungkinan mobilitas sangat besar. Maksudnya, setiap anggota strata dapat bebas berpindah strata sosial, baik vertical maupun horizontal. Walaupun kenyataannya mobilitas harus melalui perjuangan berat, kemungkinan untuk berpindah strata slalu ada. Contoh doctor, pengusaha atau guru

  1. Stratifikasi Sosial Campuran

merupakan kombinasi antara stratifikasi sosial tertutup dan terbuka. Missal seseorang yang memiliki kasta Brahmana di Bali pindah ke Jakarta.

Fungsi Stratifikasi Sosial

  1. Distribusi hak-hak istimewa yang objektif
  2. Menjadi system pertanggaan pada strata yang berhubungan dengan kewibawaan dan penghargaan
  3. Kriteria system pertentangan dan persaingan
  4. Penentu lambing-lambang (symbol status) atau kedudukan
  5. Penentu tingkat mudah dan sukarnya bertukar kedudukan
  6. Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki system sosial yang sama dalam masyarakat

Perwujudan dari stratifikasi sosial adalah kelas-kelas sosial. Hal ini dapat kita lihat dari segi ekonomi, sosial dan politik

Ekonomi

Pembagian kelas dalam masyarakat dari segi ekonomi akan membedakan masyarakat atas kepemilikan harta.

  1. Kelas atas terdiri dari kelompok orang-orang kaya
  2. Kelas menengah terdiri dari kelompok orang-orang yang berkecukupan
  3. Kelas bawah terdiri dari kelompok orang miskin

Sosial

Merupakan sistem penggolongan masyarakat menurut status. Umumnya, nilai status seseorang dalam masyarakat diukur dari prestise atau gengsi. Contohnya, orang lebih memilih menjadi pegawai meski gajinya kecil daripada jadi tukang. Pelapisan secara sosial dapat pula dilihat dari pembagian kasta di Bali.

Politik

Pelapisan masyarakat didasarkan pada wewenang atau kekuasaan. Makin besar wewenang atau kekuasaan seseorang, makin tinggi lapisan sosialnya. Masyarakat yang memiliki wewenang atau kuasa umunya ditempatkan pada lapisan masyarakat atas. Kelompok ini mencakup para pejabat eksekutif, yudikatif dan legislative. Pembagian jenis ini terlihat pula pada hierarki militer.

Sistem Stratifikasi yang Ada di Indonesia

  1. Sistem Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat Pertanian

Pembagian kelas berdasarkan kepemilikan tanah, berikut stratifikasi masyarakat pertanian di Pulau Jawa

Masyarakat pertanian pada umumnya masih menghargai peran pembuka tanah (cikal bakal), yaitu orang yang pertama kali membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan lahan pertanian. Bisaanya mereka menjadi sesepuh atau golongan yang dituakan. Golongan kedua diduduki oleh pemilik tanah atau orang kaya, tetapi bukan keturunan cikal bakal. Mereka dapat memiliki tanah dan kaya karena keuletan dan kemampuan lainnya. Kelompok yang kedua disebut kuli kenceng. Golongan ketiga adalah golongan petani yang hanya memiliki tanah sedikit dan hasilnya hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri (kuli kendo). Golongan yang keempat (buruh tani) adalah orang yang tidak memiliki tanah, namun bekerja disektor pertanian.

  1. Sistem Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat Feudal

Pola dasar masyarakat feudal :

  1. Raja dan kaum bangsawan merupakan pusat kekuasaan yang harus ditaati dan dihormati oleh rakyatnya
  2. Terdapat lapisan utama, yakni raja dan kaum bangsawan (kaum feudal) dan lapisan dibawahnya, yakni rakyatnya
  3. Adanya pola ketergantungan dan patrimonialistik, artinya kaum feudal merupakan tokoh panutan yang harus disegani, sedangkan rakyat harus hidup menghamba dan selalu dalam posisi dibawah
  4. Terdapat pola hubungan antarkelompok yang diskriminatif, yaitu kaum feudal memperlakukan bawahanya secara tidak adil dan cenderung sewenang-wenang
  5. Masyarakat feudal cenderung memiliki system stratifikasi tertutup

Lapisan Sosial Pada Masyarakat Feudal Surakarta dan Yogyakarta

Lapisan Sosial Masyarakat Feudal di Aceh

Lapisan Sosial Masyarakat Feodal di Sulawesi Selatan

  1. Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Belanda
  1. Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang
  1. Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern

Berdasarkan Kriteria Profesi

Berdasarkan Kriteria Ekonomi

Konsekuensi Stratifikasi Sosial
Dalam kenyataannya orang tidak memiliki kemampuan yang sama. Ada yang mampu membayar sekolah yang mahal ada yang tidak. Akibatnya, penghargaan yang diberikan masyarakatpun akan berbeda-beda. Perbedaan seperti ini akan mempengaruhi gaya hidup (life style).
– Pakaian : model pakaian dan perlengkapan busana
– Rumah dan Perabot : Tipe rumah dan letak tempat tinggal serta jenis kendaraan dan perabot rumah tangganya.
– Bahasa dan Gaya Bicara : Pemilihan kata atau Bahasa dan etika sopan santun
– Makanan : Selera dan jenis makanan
– Gelar, Pangkat, atau Jabatan
– Hobi dan Kegemaran

D. Kesetaraan
Ada lima kategori kesetaraan yang berbeda.
1. Kesetaraan hukum, kesamaan dihadapan hukumm
2. Kesetaraan politik, kesetaraan dalam bidang pembangunan
3. Kesetaraan sosial, tidak adanya dominasi oleh pihak tertentu
4. Kesetaraan ekonomi, pembagian sumber daya yang dilakukan secara adil
5. Kesetaraan moral, memiliki nilai yang sama

Ada tiga konsep kesetaraan yang berbeda :
a. Kesetaraan kesempatan, akses ke semua posisi sosial harus di atur oleh kriteria universal
b. Kesetaraan sejak awal, kompetisi yang adil dan setara mensyaratkan bahwa semua peserta mulai dari garis start yang sama
c. Kesetaraan hasil, semua orang harus menikmati standar hidup dan peluang kehidupan yang setara
E. Harmoni Sosial
Sesuatu yang sesuai dengan keinginan masyarakat umum, seperti keadaan tertib, teratur, aman dan nyaman dapat disebut sebagai suatu kehidupan yang penuh harmoni. Harmoni sosial adalah kondisi dimana individu hidup sejalan dan serasi dengan tujuan masyarakatnya.
Harmoni sosial juga terjadi dalam masyarakat yang ditandai dengan solidaritas. Secara etimologis, solidaritas adalah kekompakan atau kesetiakawanan. Kata solidaritas menggambarkan keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama.
F. Kesetaraan dan Harmoni Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Agar harmoni sosial terwujud dalam masyarakat, maka prinsip kesetaraan harus diterapkan ditengah-tengah diferensiasi dan stratifikasi sosial.
Dinamika Masyarakat Indonesia
Sejarah perkembangan masyarakat Indonesia menunjukan bahwa potensi konflik antar kelompok masyarakat di Indonesia cukup besar. Konflik tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Harga diri dan kebanggaan kelompok terusik
2. Perbedaan pendirian atau sikap
3. Perbedaan kebudayaan yang dimiliki setiap etnis
4. Benturan kepentingan (politik, ekonomi dan kekuasaan)
5. Perubahan yang terlalu cepat sehingga mengganggu keseimbangan sistem dan kemapanan

Mewujudkan Masyarakat Multikultural
Ditengah pontensi konflik yang memungkinkan bagi bangsa kita, maka usaha untuk membentuk suatu masyarakat multikultural menjadi sangat penting. Secara sederhana, masyarakat multikultural dapat dimengerti sebagai masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok sosial dengan sistem norma dan kebudayaan yang berbeda-beda. Masyarakat multikultural merupakan bentuk dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri atas berbagai golongan, suku, etnis, ras, agama, dan budaya. Mereka hidup bersama dalam wilayah local maupun nasional. Bahkan, mereka juga berhubungan dengan masyarakat internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Multikulturalisme tidak hanya bermakna keanekaragaman (kemajemukan), tetapi juga kesederajatan antarperbedaan. Dalam multikulturalisme terkandung pengertian bahwa tidak ada sistem norma dan budaya yang lebih tinggi daripada budaya lainnya, atau tidak ada sesuatu yang lebih agung dan luhur daripada yang lain. Semua perbedaan adalah sederajat. Kesederajatan dalam perbedaan merupakan jantung dari multikulturalisme.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perlunya Masyarakat Multikultural
Menurut Tilaar, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang mendorong berkembang pesatnya pemikiran multikulturalisme, yaitu HAM, globalisme, dan demokratisasi.  Namun demikian, idealism masyarakat multikultural dalam kenyataannya menemui banyak hambatan, diantaranya :
1. Sikap menganggap budaya sendiri lebih baik
2. Pertentangan antara budaya barat dan timur
3. Plularisme dianggap sebagai sesuatu yang eksotis
4. Pandangan yang paternalistis
5. Mencari apa yang disebut indigenous culture, mencari sesuatu yang dianggap asli
6. Pandangan negative penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara mengenai kebudayaan penduduk asli

Manfaat masyarakat multikultural
a. Melalui hubungan yang harmonis antarmasyarakat, dapat digali kearifan budaya yang dimiliki oleh setiap budaya
b. Memunculkan penghargaan terhadap budaya lain sehingga muncul sikap toleransi
c. Menjadi benteng pertahanan terhadap ancaman yang timbul dari budaya capital
d. Menjadi alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera
e. Mengajarkan suatu pandangan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoli oleh satu orang atau kelompok saja
Sumber.
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2014. Sosiologi 2:Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta. Esis Erlangga

KETIMPANGAN SOSIAL

 Kalau kalian perhatikan, Indonesia memiliki banyak keluarga yang sukses dan kaya. Mereka mengembangkan bisnis atau memimpin perusahaan tertentu. Rumah yang mereka tinggali pun besar dan mewah. Lengkap dengan mobil-mobil keluaran terbaru yang terparkir di garasi mereka. Tapi di sisi lain, tidak jarang juga kita menemukan pengemis, pengamen, dan pedagang kaki lima yang tiap harinya bekerja mati-matian hanya untuk mendapatkan uang demi makanan sehari-hari. Perbedaan tersebut termasuk bentuk dari ketimpangan sosial.

Ada beberapa definisi dari ketimpangan sosial. Menurut Adrinof A. Chaniago, ketimpangan sosial adalah buah dari pembangunan yang berfokus pada ekonomi dan melupakan aspek sosial. Sementara itu, Roichatul Aswidah berpendapat bahwa ketimpangan sosial merupakan dampak residual dari proses pertumbuhan ekonomi.

Budi Winarno menyebutkan bahwa ketimpangan sosial adalah kegagalan pembangunan di era globalisasi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis warga. Di sisi lain, Shahidur R. K. menyebut ini sebagai bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam proses pembangunan.

(Baca juga: Memahami Konsep Stratifikasi Sosial)

Adrinof A. Chaniago mengategorikan ketimpangan sosial ke dalam beberapa bentuk, yaitu pengembangan diri manusia, desa dan kota, antarwilayah dan subwilayah, antargolongan sosial ekonomi, penyebaran aset, serta antarsektor ekonomi.

Ketimpangan dalam Pengembangan Diri Manusia

Pengembangan diri manusia merupakan faktor internal yang berasal dari diri sendiri, contohnya seperti perasaan malas, sombong, dan mudah menyerah. Ketimpangan tersebut biasanya terbentuk sebagai akibat perbedaan pola pikir dan tingkat pendidikan individu.

Ketimpangan Antara Desa dan Kota

Bentuk ketimpangan selanjutnya adalah ketimpangan antara desa dan kota. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan pembangunan infrastruktur hingga pola pikir dan gaya hidup. Ketimpangan ini disebabkan karena pembangunan kota lebih cepat dari pembangunan desa.

Ketimpangan Antarwilayah dan Subwilayah

Ketimpangan juga dapat terjadi akibat perbedaan cakupan wilayah. Subwilayah memiliki cakupan dan akses yang lebih kecil dari wilayah. Contohnya adalah pembangunan yang hanya terjadi di daerah utama dan tidak termasuk subdaerah.

Ketimpangan Antargolongan Sosial Ekonomi

Ini merupakan kesenjangan antargolongan di mana golongan atas mendapatkan akses yang lebih baik dari golongan bawah. Contohnya adalah akses pendidikan dan kesehatan.

Ketimpangan Penyebaran Aset

Ketimpangan penyebaran aset pemerintah atau sarana publik terjadi karena pendistribusian fasilitas publik yang tidak merata karena hanya terpusat di perkotaan. Contohnya adalah jalan raya yang lebih mulus di daerah kota dibandingkan desa.

Ketimpangan Antarsektor Ekonomi

Ketimpangan antarsektor ekonomi dapat dilihat dari pendapatan masyarakat, lapangan pekerjaan, sektor budaya, dan pariwisata. Ketimpangan ini membentuk strata di masyarakat yang berdasarkan pada status sosial.

TUGAS : 

Berikan contoh ketimpangan sosial nonekonomi yang terdapat disekitar kalian dan bagaimana cara mengatasinya

 TULISKAN JAWABAN LKS HAL 65 NO 1-5 KELAS 12  PADA KOLOM KOMENTAR BERIKUT

Minggu, 27 September 2020

IJTIHAD

 A. Ijtihad dalam hukum Islam

1.             Pengertian Ijtihad
     Ijtiha menurut bahasa berasal dari kata
yang artinya mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Para ahli Ushul Figih merumuskan pengertian ijtihad.
Artinya     Pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara' melalui dalil-dalil syara' pula"
      Jadi dengan demikian, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbath ( mengeluarkan hukum ) dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
      Imam Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syariat.
Berdasarkan definisi di atas, maka ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang tidak ada dalilnya yang qoth'i, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
1. Hukum ijtihad
      Menurut Syeikh Muhammad Khudlari, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
      a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sndiri mengalami suatu peristiwa yang ia seniri juga ingin mengetahui hukumnya.
      b.   Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan seseuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
      c.   Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
3.   Peranan dan kedudukan hasil ijtihad
      a.   Peranan ijtihad
            Ijihad sangat diperlukan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari sandaran hukm yang benar, mengingat banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 2 yang berbunyi
    
Artinya:             Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. ( QS. Al-Hasyr : 2 ).
Hadits Nabi MuhammadSAW :

 Artinya : "Jika seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad kemudian ijtihadnya itu benar, maka is mendapatkan dua pahala, apabila ia menghukum, dan berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat satu pahala". (HR. Bukhori dan Muslim) .(DEPAG 2002, hal 271-272)
            Dengan demikian, ijtihad merupakan salah satu alat penggali hukum syara’ untuk dapat mengaplikasikan setiap hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut, agar relevan dengan permaslahan hukum yang ada di masyarakat.
      b.   Kedudukan hasil ijtihad
            Hasil ijtihad merupakan pendapat yang bersifat zanni ( dugaan kuat ). Hasil ijtihad itu mempunyai akibat hukum, baik bagi orang yang bertanya maupun bagi mujtahidnya sendiri. Sedangkan bagi kaum muslimin, hasil ijtihad itu tidak mengikat dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengikutinya. Bahkan pendapat hasil ijtihad seseorang, tidak menghalangi orang lain untuk berijtihad dan menghasilkan pendapat yang berbeda.
Kecuali seorang gadli atau hakim yang telah memutuskan hukum berdasarkan ijtihadnya sendiri tidak boleh membatalkan keputusan selama keputusan pertama tidak menyalahi nash atau dalil qath'i.
            Sifat dasar ijtihad yang demikian itu, membolehkan seorang mujtahid atau orang lain untuk meninjau ulang atau melakukan ijtihad baru untuk menetapkan hukum baru. ( M. Mahrus As’ad : 2006, hal 46 ).
4.   Syarat-syarat mujtahid
      Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu :
      a.   Syarat umum
            1). Beriman
            2). Mukallaf
            3). Memahami masalah
      b.   Syarat khusus
            1). Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbabul nuzul, musytarak, dan sebagainya.
            2). Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbabul wurud, dan dapat mengemukakan hadit-hadits dari berbagai kitab hadits seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud dan lain-lain.
            3). Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
            4). Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara’.
            5). Mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
            6). Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar’I dan cara-cara mengistinbathkan hukum.
            7). Mengetahui ilmu mantiq.
            8). Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bar’ah ashliyah.
            9). Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.
      c.   Syarat pelengkap
            1). Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’I yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
            2). Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ‘ulama’dan yang akan mereka sepakati.
            3). Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak. ( HM. Suparta :2006, hal 88-89 ).
5.   Tingkatan-tingkatan mujtahid
      Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu :
a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apa pun. Seperti madzahibul arba’ ( Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Ahmad bin Hambal ).
b. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu. Sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut.
c. Mujtahid Fil Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihad ia mengambil metode yang digunakan oleh Imam Mazhab tertetu dan ia juga mengikuti Imam Mazhab dalam masalah furu'. Terhadap masalah­-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Imam Mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri.
d. Mujtahid Murajjih, atau dalam istilah lain orang yang mentarjih, yaitu mujtahid yang dalam menggali dan menetapkan hukum suatu perkara didasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabannya tentunya dengan mengambil dasar hukum yang lebih kuat.
5. Penerapan hasil ijtihad
Pada garis besarnya ayat-ayat Al-Qur'an dapat dibedakan atas Ayat Muhkamat dan Ayat MutasyabihatAyat Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya hukum yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau interpretasi. Pada umumnya ayat muhkamat ini bersifat perintah seperti perintah menegakkan sholat, puasa, menunaikan zakat, ibadah haji. Sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat-ayat mengenai gejala-gejala alam yang terjadi setiap hari. Dengan ayat-ayat mutasyabihat mengisyaratkan kepada kita bahwa Al-Qur'an mergajarkan kepada manusia mempergunakan akalnya, mengamati dengan benar, harus berpikir dan bertanya secara tuntas tentang segala sesuatu yang diamatinya.
      Demikian juga dalam Al-qur'an dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qoth'i dan dzonniDalil Qoth’i adalah dalil yang sudah jelas hukumnya dan tidak diperlukan penafsiran. SedangkanDalil dzonni adalah belum jelas hukumnya untuk itu dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal demikian bermuara untuk menggunakan akal untuk memecahkannya dan yang tidak kalah penting munculnya peristiwa baru yang sebelumnya belum pernah terjadi dan membutuhkan status hukum. Misalnya : Bagaimana hukumnya bayi tabung, cangkok mata, cloning manusia, donor Darah dll.
Dasar menggunakan akal untuk menetapkan hukum adalah :
1.   Ketetapan Al-Qur'an mengenai landasan musyawarah dalam menetapkan sesuatu:
Firman Allah SWT :
Artinya : ". ... Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (As-Syura : 38).
2.     Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an untuk mengembalikan segala pertentangan dan silang pendapat kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang memiliki tingkat pemahaman syari’ah yang tinggi dan menguasai tata cara menetapkan hukum.
3. Adanya ketegasan Nabi kepada para sahabatnya agar berijtihad dan merumuskan ketetapan hukum melalui pemikiran dalam masalah yang tidak terdapat hukumnya dalam Al-Qur'an maupun as-sunnah. Seperti dalam hadits saat terjadi dialog antara nabi dengan Mu'adz bin jabal cukup memperkuat mengenai kedudukan akal itu. ( Muzilanto 2008, hal 29-30 ).
             Di dalam menerapkan hasil ijtihad ada beberapa macam, yaitu tarjih, talfiq, ittiba’, taqlid, dan fatwa. Masing-masing penerapannya memiliki perbedaan dan persamaan. Para ’ulama’ berbeda pendapat mengenai penerapan beberapa jenis hasil ijtihad tersebut sebagai berikut :
B.   Tarjih dan Talfiq
1.   Tarjih
      a.   Pengertian tarjih
                   Menurut bahasa, tarjih adalah ”melebihi” sesuatu, sedangkan menurut istilah tarjih menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya. Maksudnya memilih dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang tampak berlawanan atau tidak sama terhadap satu hukum yang sama. Dalil yang lebih kuat disbut rajih dan dalil yang lemah disebut marjuh.
      Berdasarkan uraian di atas, para ahli Ushul Fiqih memberikan rumusan Tarjih sebagai berikut :

Artinya     "Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan terhadap yang lain sehingga dapat diketahui mana yang lebih kuat kemudiandiamalkan dan dikesampingkan (ditinggalkan) yang lainnya (yang Iemah)".
Tarjih dibenarkan dalam menetapkan hukum syar'i berdasarkan ijma' sahabat. Misalnya wajib berpuasa bagi orang yang junub sampai shubuh walaupun ada hadits yang menerangkan bahwa orang yang junub sampai shubuh puasanya batal. Kedua hadits itu adalah sebagai berikut :

Artinya      "Sesungguhnya Nabi SAW pernah dalam keadaan junub pada waktu shubuh" (HR. Bukhori dan Muslim).
Artinya   "Telah bersabda Rasulullah SAW barang siapa pada waktu subuh dalam keadaan junub, maka tidak sah puasanya". (HR. Ahmad dan lbnu Habban).
Hadits yang pertama diriwayatkan dari isteri-isteri Nabi sedang hadits kedua diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits pertama Iebih kuat, sehingga ditetapkan sebagai dasar hukum karena diriwayatkan dari istri-istri Nabi yang menyaksikan sendiri apa yang diriwayatkannya itu.
      b.   Dalil-dalil yang ditarjihkan
1) Dalil yang ditarjih itu sama kepastian kekuatannya, seperti Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan Hadits mutawatir, hadits ahad dengan hadits ahad.
2)   Dalil yang berlawanan sama dalam hukumnya, waktunya, tempatnya dan arah yang dimaksudnya.
2.   Talfiq
      a.   Pengertian talfiq
                  Menurut bahasa talfiq adalah menyambung dua tepi yang bebeda. Seperti mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Sedangkan menurut istilah talfiq adalah mengikuti suatu hukum dengan mengambil pendapat dari berbagai madzhab dengan tujuan agar hukum tersebut dapat lebih ringan. Talfiq dalam rumusan ushul fiqih berarti mengambil beberapa hukumsebagai dasar beramal dari berbagai madzhab atau pendapat yang berbeda.
Contoh, seseorang berwudlu dengan tidak menggosok anggota wudlu, menurut Imam Syafi'i wudlunya sah sedangkan menurut Imam Malik tidak sah, kemudian ia menyentuh wanita, menurut Imam Syafi'i wudlunya batal sementara menurut Imam Malik tidak batal. Jika kemudian ia sholat tidak sah. Menurut Imam Syafi'i karena wudlunya batal dengan menyentuh wanita, sedangkan menurut Imam Malik tidak sah karena wudlunya batal dengan tidak menggosok anggota wudlu.
b.   Hukum talfiq
1).    Contoh di atas memberikan gambaran bahwa penggabungan pendapat sebagai dasar beramal mengakibatkan amalannya batal / tidak sah. Maka talfiq tidak dibenarkan dalam ajaran syari'at Islam.
2).   Talfiq dibenarkan sepanjang tidak berakibat batalnya amaliah, demikian pula perpindahan madzhab yang lain dalam masalah yang berbeda tetap dibenarkan, seperti wudlu mengikuti pendapat Imam Syafi'i. Sholatnya mengikuti pendapat Imam Malik sedang ketentuan halal dan haramnya makanan mengikuti pendapat Imam Hambali.
3.   Perbandingan antara tarjih dan talfiq
      Di antara tarjih dan talfiq terdapat persamaan dan perbedaan, yaitu :
  1. Persamaan keduanya adalah masalah yang hukumnya akan ditetapkan mencakup masalah-masalah yang masih dalam lingkup perbedaan pendapat ’ulama’, baik dikarenakan terdapatnya nash lebih dari satu atau perselisihan pendapat ’ulama’. Dan termasuk dalam bagian ijtihad.
  2. Perbedaan keduanya adalah kalau tarjih menetapkan salah satu dalil yang paling kuat dan tidak ada kemungkinan mencari yang lebih ringan dari dalil-dalil yang ada, sedangkan talfiq menggabungkan beberapa pendapat madzhab dan ada kecendrungan mencari yang lebih ringan dari beberapa pendapat madzhab.
C. Ittiba’ dan Taqlid
1.   Pengertian ittiba’ dan taqlid
      a.    Ittiba’
             Menurut bahasa ittiba’ adalah mengikuti atau menurut. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti semua yang diperintahkan atau yang dilarang dan yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Salah satu ’ulama’ berpendapat bahwa ittiba’adalah :

Artinya "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".
      b.   Taqlid
                       Menurut bahasa taqlid adalah meniru. Sedangkan menurut istilah
             Taqlid adalah :
Artinya "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang tanpa mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".
2.   Hukum ittiba’ dan taqlid
Ittiba' dalam agama adalah wajib. Firman Allah SWT :
             Artinya : "Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu". (Ali Imran 31)
Taqlid adalah perbuatan yang tercela dalam agama (Islam) terutama bagi orang yang mempunyai kemampuan beristidlal.
Firman Allah SWT :

Artinya "Dan apabila telah dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka menjawab "(tidak) akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk". (Al-Bagarah : 170).
3.   Perbandingan antara ittiba’ dan taqlid
                        Secara khusus dapat diketahui bahwa ittiba’ dan taqlid memiliki persamaan dan perbedaan sebagai beikut :
      a.   Persamaannya keduanya perbuatan mengikuti.
      b.   Perbedaannya kalau ittiba’ seseorang yang mengikuti itu mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh mujtahid yang diikutinya. Sedangkan kalau taqlid seseorang yang meniru itu tidak mengetahui sumber yang dijadikan daras oleh mujtahid yang ditirunya.
D.  Fatwa
1.   Pengertian fatwa
                        Yang dimaksud dengan fatwa adalah jawaban berdasarkan ijtihad terhadap pertanyaan mengenai hukum suatu peristiwa yang belum jelas hukumnya. Orang yang menyampaikan fatwa disebut mufti dan biasanya merupakan tokoh agama dan ’ulama’.
2.   Syarat-syarat mufti
                        Mufti menjadi panutan masyarakat kaum muslimin, karenanya harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a. Menguasai hukum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
b. Niyatnya semata-mata mencari ridlo Allah SWT.
c. Berakhlak mulia, sabar, mampu menguaisai diri, bijaksana, dan berwibawa
d. Mengetahui ilmu sosial.
3.   Perbandingan hakim dan mufti
            Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara hakim dan mufti sebagai berikut :
      a.   Persamaan
            1).  Hakim dan mufti sama-sama mujtahid
            2).  Hakim dan mufti orang yang mengetahui dan memahami masalah yang diselesaikan
            3).  Hakim dan mufti adalah orang yang mengetahui kondisi sosial masyarakat yang dihadapi.
      b.   Perbedaan
            1).  Persoalan yang dihadapi hakim telah dibatasi oleh berbagai ketentuaan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan persoalan yang dihadapi mufti bebas
            2).  Keputusan hakim harus dilaksanakan oleh penggugat dan tergugat, sedangkan fatwa mufti boleh dilaksanakan boleh tidak diserahkan kepada orang yang meminta fatwa tersebut
            3).  Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa, sedangkan fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim. ( Wawan Djunaidi, 2008, hal 74-75 ).

TUGAS
1. Jelaskan hukum ijtihad menurut pandanagan Islam!
2. Sebutkan dan jelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid yang saudara ketahui!

Jawaban ditulis pada kolom komentar

SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIA

Bernapas adalah proses memasukkan oksigen ke dalam tubuh serta mengeluarkan karbon dioksida dan uap air dari tubuh. Organ-organ pada sistem ...