Al-Qawaid al – Khamsah
- Kaidah yang berkaitan dengan niat
- Teks kaidahnya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِها
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
- Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ وَاِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِ ئٍ مَا نَوَ ى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”
- Eksistensi niat
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah
- Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
- Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
- Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat, qasar jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perwakilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
Teks kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan menyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.
- Dasar-dasar nash kaidah
Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى هريرة)
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
دَعْ مَايُرِيْبُكَ إِلَى مَالاَيُرِيْبُكَ
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bi Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
هُوَمَاكَانَ ثَابِتًابِالنَظَرأَواالدَّ لِيْل
Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indra atau dengan adanya dalil”.
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
هُوَمَاكَانَ مُتَرَدِّدًابَيْنَ الثُبُوْتِ وَعَدَ مِهَ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَرِالصَوَابِ وَالخَطَاءِ دُوْنَ تَرْ جِيْعِ اَحَرِ هِمَاعَلَى الاحَرِ
Artinya: “Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain: baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis maka ia wajib mencuci baju seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam melakukan ibadah tidak langsung merupakan kekecualian.
Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
Teks kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْ
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
- Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).
Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ الخفِيَةَ السَمْحَةَ (رواه البخر)
Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[1][4]
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam yaitu:
- Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jum’at.
- Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil duduk.
- Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
- Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
- Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
- Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
- Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk.
Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
Teks kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
– Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
– Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
– Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan.
- Dasar-dasar nash yang berkaitan
Firman Allah SWT:
تُفْسِرُوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)وَلاَ
Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
Teks kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
- Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
وَعَا شِرُوَهُنَ بِا الْمَعْرُوْفِ
Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:
اَلْعَادَةُمَا اسْتَمَرَالنَاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْ لِ وَعَادُوْا اِلَيْهِ مَرَةً بَعْدَاُخْرَى
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
- Pengertian ‘Adah atau ‘uruf
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya mempunyai arti yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf adalah:
‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang menggunakan metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang Imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
- Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut:
– Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
– Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
– Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
– Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera
TUGAS
kerjakan LKS hal 61 no 1 dan 2 jawaban silahkan isi pada kolom komentar ya. sertakan nama dan kelas
(HP ne ngge nompo jawaban gampang heng wisan )